Dijuluki sebagai atap dunia, Tibet adalah wilayah tertinggi di bumi, dengan ketinggian rata-rata 4.900 meter (16.000 kaki).
Untuk mengetahui apakah orang Tibet memiliki fitur genetik khusus yng memungkinkan mereka bernapas dengan mudah di tempat-tempat yng tinggi, ilmuwan menganalisa gen dari 31 orang Tibet yng dipastikan tidak memiliki hubungan sedarah. Kemudian mereka membandingkannya dengan DNA 90 orang China dan Jepang yng tinggal di daerah rendah.
Para ilmuwan yng berasal dari China dan Amerika Serikat mengatakan mereka mencari variasi genetik di lokasi sebelumnya studi yng dikaitkan dengan adaptasi akan wilayah ketinggian.
"Dua gen tersebut, dikenal sebagai EGLN1 dan PPARA pada kromosom manusia masing-masing 1 dan 22, muncul secara konsisten," ujar Jinchuan Xing dari Eccles Institute of Human Genetics di University of Utah School of Medicine di Amerika Serikat (AS), seperti dikutip melalui Reuters, Jumat (14/5/2010).
"Peran pasti mereka untuk adaptasi ketinggian memang belum bisa dipastikan. EGLN1 dan PPARA kemungkinan besar mengakibatkan meningkatnya konsentrasi hemoglobin," jelas Xing.
Masyarakat Tibet memiliki kadar hemoglobin darah sangat rendah yng tidak biasa, sehingga mereka dapat hidup di ketinggian. Tetapi baru sekarang para ahli berhasil melacak fitur ini kembali ke gen.
Ketika orang-orang yng biasanya tinggal di dataran rendah mengunjungi Tibet, kekurangan oksigen dalam tubuh mereka dapat menyebabkan penyakit ketinggian, yng dapat berkembang menjadi penyakit jantung fatal atau radang otak.
"Mungkin orang Tibet telah mengembangkan mekanisme pengaturan untuk mengontrol kadar hemoglobin sehingga bisa mencegah efek negatif," tulis Xing.
0 komentar:
Posting Komentar